Minggu, 30 September 2012

Ketika Suatu Kemalangan Diperbandingkan

Ada satu hal yang menarik ketika saya pindah dari Palembang dan kini menetap sementara untuk alasan studi ke Bandung. Saya menemukan banyak sekali hal yang khas di sini, mulai dari bahasa, kebudayaan, hingga kebudayaan saya temukan dengan perbedaan yang kental dengan hal yang ada di daerah asal saya. Tapi ini yang menurut saya paling menarik di antara semuanya. Maaf bila ketika Anda membaca ini, Anda merasa tidak enak hati atau bahkan tersinggung. Ini hanya pendapat saya sebagai seorang manusia yang masih hijau.

Dan hal itu adalah keluhan.

Saya jujur mungkin adalah salah satu orang jutek yang dimiliki dunia ini dan bahkan saya sendiri merasa amat-sangat jutek dan pemikir hal-hal aneh (baca : kepo). Saya jujur adalah orang tidak menyukai keluhan yang terdengar sok paling malang sedunia. Jujur saya, saya juga mungkin sebagai manusia sering sekali mengeluh, namun terkadang keluhan itu sendiri tertahan dengan adanya pemikiran bahwa kita bukan satu-satunya orang yang merasakan kemalangan ini. Dan ini motivasi saya dalam menekan keinginan mengeluh. Hal ini jugalah yang akhirnya membuat saya menjadi annoyed dengan segala bentuk keluhan yang bagi saya sangat kurang bermanfaat.

"Idih, di Dakol sumpah panas banget. Anjiir!"

Kebetulan, saya kini melanjutkan studi di IM Telkom jurusan DKV. Jurusan yang sangat saya idamkan. Dan saya sendiri merasa nyaman belajar di sini. Namun mungkin kenyamanan ini memang agak terganggu dengan keadaan sekitar yang agak lebih panas dari kota Bandung yang terkenal "adem". Kampus saya berada di daerah Dayeuh Kolot, lumayan jauh dari pusat kota, bahkan sudah hampir dibilang Bandung coret. Maka mungkin, keluhan yang banyak dilontarkan mahasiswa ini adalah "panas banget". Saya, yang notabene sudah sangat biasa dengan keadaan panas (karena Palembang lebih panas dari Bandung), tentu hanya bisa menyeringai tiap mendengar keluhan ini. Mereka tentu belum pernah mengunjungi yang lebih panas dari ini.
Palembang lebih panas, beneran. Ada kalanya saya akan dengan senang hati menjelaskan bahwa hawa panas ini bukan apa-apa. Bahkan teman saya sudah sangat jenuh mendengar omelan saya ini. Tapi maaf, saya hanya ingin menjelaskan pada mereka bahwa ini bukan suatu kesialan ataupun kemalangan yang hanya terjadi pada mereka. Jadi daripada mereka menambah kesialan mereka dengan membuang energi untuk mengeluh, mending mereka diam atau mencari sesuatu yang lebih bermanfaat. Mencari kesejukan dengan mengipas diri, mungkin?

"Gila, ini kita jadi botak gini, Ga kece banget."

Keluhan ini sering saya dengar dari mahasiswa baru yang laki-laki. Saya cukup maklum mengapa mereka mengeluhkan hal ini, sebab tampaknya hampir SMA di Bandung tidak mempersoalkan panjang rambut siswanya. Bahkan rambut panjang bagi siswa laki-laki pun diperkenankan. Namun, sebagai keluhan-semihaters nurani saya kembali terusik. Bagaimana tidak? Di SMA saya dulu, siswa laki-laki dilarang keras memiliki rambut gondrong. Bahkan bila rambut mereka kelebihan 2 cm saja dari aturan yang berlaku (aturan yang berlaku rambut harus cepak 1-2 cm. Gak gondrong, ga panjang), itu langsung ditindak oleh guru bagian kesiswaan. Betul, kok! Dan itu terus berlangsung hingga tahun terakhir di SMA saya. Kaget? Kalo nggak kaget juga tidak apa-apa, karena mungkin sekolah Anda juga ada peraturan seperti ini.
Dan kini, maba laki-laki meributkan hal itu, padahal rambut mereka cepak hanya saat ospek, toh setelah ospek pun mereka bisa memanjangkan rambut mereka lagi. Bukankah ini bukan masalah? Jadi kenapa harus dipersoalkan? Bahkan bagi saya, laki-laki lebih bagus kalo rambutnya ga gondrong dan bahkan kerenan agak cepak. Tapi yaaa ga cepak-cepak amat sampe botak yaa. Hehe.

"Makanan asramanya monoton banget. Itu-itu terus."

Btw, apakah sudah saya sebutkan kalau sekarang saya kembali menjadi anak asrama setelah sebelumnya di kelas X saya tinggal di asrama selama 1 tahun? Dan saya kembali di asrama karena sudah ditentukan begitu dari pihak institusinya. Di sini, saya menemukan banyak perbedaan dari asrama saya yang dulu. Di asrama saya sekarang ada TV di setiap lobi, satu kamar 4 orang (di asrama saya saat SMA, 1 kamar diisi 9-10 orang. Bayangkan!), catering makan pagi dan malam yang diantar ke tiap kamar (jaman SMA, kami punya ruang makan dan makanan ambil sendiri secara prasmanan), dll. Di setiap gedung asrama punya resepsionis yang juga menyediakan buku berisi keluhan dari penghuni asrama. Dan, ping! Keluhan di atas saya temukan.
Please, banget... Kalian yang mengeluhkan ini itu sudah sangat beruntung. Bagaimana kalau kalian berada di posisi saya, lalu tinggal di asrama SMA saya yang jelas-jelas tidak secanggih di sini. Makanannya pun menurut saya sudah cukup lumayan. Bicara soal monoton, catering asrama di sini tidak semonoton itu. Jujur saja, makanan di ruang makan asrama SMA saya justru lebih monoton. Hanya ayam, soto, nugget, dll. yang kemudian dikreasikan berbeda. Kadang soto, ayam goreng, dsb. Sedangkan di sini? Menu makannya juga lumayan beragam.
Kita ini sudah mahasiswa, bro, sis! Kalo bisa, coba deh jangan merasa malang sendiri. Banyak kok yang lebih malang dari kita. Sekarang, coba deh bersyukur.


Sebenarnya, ada banyak lagi keluhan-keluhan. Hanya saja, saya coba mengangkat keluhan yang paling banyak dilontarkan saja. Kalau saya bahas lebih banyak, saya tidak yakin saya tahan menuliskannya. Hihi.

Mungkin wajar sih kita mengeluh, kita memang makhluk lemah. Tapi coba juga bersyukur setelah mengeluh, bahkan kalau bisa, kurangi mengeluh dan banyak-banyak bersyukur. Saya rasa, akan lebih efektif lagi kalau Anda saat hendak mengeluh berpikir dulu, "apakah memang saya orang paling malang yang merasakan hal ini?" "apakah saya pantas mengeluh saat orang lain juga merasakan hal yang sama, bahkan lebih dari saya?". Saya yakin Anda akan menemukan jawabannya. Sekali lagi, mengeluh boleh, tapi jangan kebanyakan ngeluh, kan sayang energinya terbuang begitu saja! Lagipula, menurut saya pribadi, mengeluh justru akan menambah kesialan kita karena kita jadi mengirimkan energi negatif ke tubuh hingga ke hati sehingga akan tambah capek. Betul kok! Saya kan juga manusia!

Memang tega sih kalo kita membandingkan kesialan kita dengan orang lain yang lebih sial dan malang, tapi coba deh kita jadiin pelajaran dan motivasi buat mengurangi energi negatif dalam hati dan jiwa. Insya Allah, hidup akan lebih terasa nikmat.

Maaf buat para pembaca yang tidak suka dengan tulisan saya. Saya cuma menyampaikan pendapat. Terima kasih atas waktunya yang sudah terbuang untuk membaca postingan ini.

Enjoy your life! :)


XOXO

Pia